Riza Nur Fikri

Riza Nur Fikri

Senin, 03 Januari 2011

Makalah Umar Bin Abdul Aziz (717-720)


Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 717-720 )
(Tinjauan Historis)
Oleh: Riza Nur Fikri
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Metodologi Penelitian Sejarah
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Dudung Abdurrahman
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010

BAB I
Pendahuluan

Dinasti Umayyah merupakan sebuah pemerintahan Islam yang berdiri setelah pemerintahan Khulafa`ur Rasyidin. Dinasti ini berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (661-750). Ketika pemerintahan Islam memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarki. Selama pemerintahannya, dinasti ini telah dipimpin oleh 14 khalifah. Dalam tulisan ini difokuskan pada kepemimpinan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz.
Umar ibn Abd al-Aziz berlangsung kurang dari tiga tahun (717-720). Kepemimpinan Umar ibn Abd al-Aziz dan kebijakan-kebijakannya menarik untuk diteliti bukan hanya karena kebesaran namanya, tetapi juga karakter kepemimpinannya yang berbeda dari khalifah-khalifah sebelumnya. Selain itu, pengaruh  sosial masyarakatnya pada masa pemerintahannya kemungkinan juga berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya.
Kajian mengenai kepemimpinan Umar ibn Abd al-Aziz ini difokuskan terhadap permasalahan di bidang politik. Untuk melacak dan menjabarkan permasalahan tersebut akan  dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.      Siapakah Umar ibn Abd al-Aziz ?
2.      Bagaimana proses pengangkatan Umar ibn Abd al-Aziz hingga menjadi Khalifah ?
3.      Apa sajakah kebijakan-kebijakan Umar ibn Abd al-Aziz selama memimpin Dinasti Bani Umayyah dan bagaimana pengaruh kebijakannya terhadap kehidupan rakyatnya?
BAB II
Kerangka Teoritik

            Segala aspek yang berkaitan tentang kepemimpinan seorang khalifah sekiranya dapat dipahami dengan pemikiran yang lebih umum tentang Islam. Persoalan yang petama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik.[1] Hal itu terjadi setelah Nabi Muhammad wafat. Beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin Negara yang beliau tinggalkan. Selanjutnya kepemimpinan nabi diteruskan oleh al-Khulafa al-Rasyidun yaitu Abu Bakar al-Shidiq, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn abi Talib. Mereka dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berkat memberi  bai`at pada calon yang terpilih.[2] Mekanisme pemilihan pemimpin berubah menjadi monarki sejak berdiri Dinasti Bani Umayyah.
            Menurut al-Mawardi, syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi khalifah antara lain adalah memiliki sifat adil, berilmu, sanggup mengadakan ijtihad, sehat mental dan fisik, berani dan tegas. Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemilih adalah adil, mengetahui syarat-syarat untuk menjadi khalifah, dan sanggup untuk menentukan secara bijaksana calon yang berhak dipilih menjadi khalifah. Dengan mendapat bay`ah(pengakuan), khalifah sebenarnya telah mengikat janji dengan umat.[3] Ibnu Sina berpendapat, khalifah harus ahli dalam soal hukum (syari`ah), mementingkan soal spiritual dan moral rakyat, dan mesti bersikap adil. Ia juga harus membawa umat kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[4]
            Dasar-dasar pemikiran di atas dipandang cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini sehingga kajian ini dapat mendeskripsikan dan menganalisis Dinasti Bani Umayyah  pada masa kepemimpinan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah. Karena itu, upaya rekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti ditempuh melalui metodologi sejarah. Dalam memahami kompleksitas gejala sejarah, digunakan konsep-konsep dalam pendekatan keagamaan (Islam) dan ilmu sosial yang dalam kajian ini menggunakan pendekatan ilmu politik dan sosiologi.
1.      Pendekatan Keagamaan (Islam)
Pendekatan ini sebagaimana telah dipaparkan di atas.
2.      Pendekatan Ilmu Politik
Dalam proses politik biasanya masalah kepemimpinan dipandang sebagai faktor penentu dan senantiasa menjadi tolok ukur.[5] Baik buruknya suatu Kekhalifahan ditentukan oleh kecakapan dan kebijakan pemimpinnya. Nabi Muhammad yang kemudian diteruskan oleh Khulafa` al-Rasyidin merupakan tolok ukur pemimpin yang membawa Islam pada era keemasan yang pertama. Selanjutnya pada masa dinasti-dinasti Islam termasuk Dinasti Bani Umayyah kemajuan suatu pemerintahan di tentukan oleh baik dan buruknya pemimpin.
3.      Pendekatan Sosiologis
Bila pendekatan ini dipergunakan dalam penggambaran tentang peristiwa masa lalu, tentu di dalamnya akan terungkap segi-segi sosial dari peristiwa yang dikaji.[6] Keadaan masyarakat dalam suatu pemerintahan perlu diketahui. Bagaimana keadaan rakyat atas kebijakan-kebijakan pemimpin serta reaksi dan interaksinya.
BAB III
Pembahasan

A.    Umar ibn Abd al-Aziz Sejak Lahir hingga Menjadi Khalifah
Umar ibn Abd al-Aziz lahir di kota Hilwan yang dijadikan oleh ayahnya, Abd al-Aziz ibn Marwan, sebagai pusat pemerintahannya. Mendiang ayahnya bertugas di Mesir berkelanjutan sampai dua puluh tahun (65-86 H).[7] Umar Ibn Abd al-Aziz telah hafal al-Qur`an sejak kecil. Kemudian sang ayah mengirimnya ke Madinah untuk menuntut ilmu, sehingga ia menjadi seorang faqih dalam agama dan menjadi perawi hadis. Selanjutnya ia tekun mempelajari kesusasteraan.[8] Selanjutnya, Umar berlanjut tinggal di Madinah sampai Ayahnya meninggal dan Abd al-Malik ibn Marwan menjadi khalifah.
Umar ibn Abd al-Aziz lalu tinggal di Damaskus sampai Al-Walid menjadi khalifah pada tahun 86 H. Atas dasar kearifan dan kelayakannya yang dimiliki Umar, seperti yang diketahui oleh Khalifah Al-Walid, maka pada tahun itu juga ia diangkat menjadi gubernur Madinah. Tercatat, bahwa Umar bertugas sebagai Gubernur di Madinah selama tujuh tahun dan selama bertugas ia menjadi figur teladan dalam kewara`an dan ketakwaan.
Ketika Khalifah Al-Walid bermaksud hendak memecat saudaranya, Sulaiman, dari posisi sebagai putera makhota dan menghendaki agar puteranya dibai`at sebagai calon khalifah kelak sepeninggalnya, ternyata Umar menolak Sulaiman dipecat dari posisinya sebagai putera mahkota yang telah menjadi haknya untuk dibai`at.[9]
Setelah Al-Walid wafat, sudaranya, Sulaiman naik takhta sesuai dengan wasiat ayah mereka, Abd al-Malik. Menjelang Sulaiman wafat, ia tinggalkan wasiat tertulis yang menetapkan Umar ibn Abd al-Aziz sebagai penggantinya.[10] Khalifah Sulaiman dengan mantap telah mengangkat Umar ibn Abd al-Aziz sebagai putera mahkota sebagai balas jasa atas sikapnya yang telah berjasa membela haknya dahulu, disamping karena akhlaknya yang mulia dan karakter lembut yang dimilikinya.[11]
Semula Umar dengan tegas menolak jabatan kekhalifahan yang ditunjuk oleh Sulaiman. Karena terus didesak kaum Muslim, akhirnya menerima amanah umat tersebut yang menurutnya terasa tidak ringan itu. Buktinya, pada umumnya seperti layaknya orang yang baru menerima anugrah jabatan, pasti mengucapkan Alhamdulillah, justru Umar sebaliknya. Ia mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji`un, seperti orang yang seketika terkena musibah.[12]Umar menegaskan bahwa jabatan khalifah sama sekali tidak pernah dia minta dari Allah. Umar juga menyatakan dirinya bukan yang terbaik di antara rakyatnya melainkan hanya orang yang paling berat menanggung tanggung jawab ini.
Umar ibn Abd al-Aziz dianggap sebagai seorang khalifah dari para khalifah Bani Umayyah yang paling baik sejarah kehidupannya, paling bersih kepribadiannya, paling terjaga lidahnya, paling giat menyebarkan dan menegakkan agama. Kaum Muslimin menyamakan kepemimpinannya dengan kepemimpinan kakeknya, Umar ibn Khattab, baik dalam keadilan maupun dalam kezuhudannya.

B.     Kebijakan-kebijakan Kalifah Umar ibn Abd al-Aziz

Ketika Umar ibn Abd al-Aziz dinobatkan sebagai khalifah, di menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya.[13] Dia mencurahkan tenaga dan fikirannya untuk memperbaiki dan mengatur urusan dalam negeri. Kebijakan yang diterapkan yaitu mengatur para penguasa dan pejabat daerah. Khalifah Umar netral dan adil dalam pemberian kesamaan hak dan kewajiban kepada orang Arab dan Mawali.[14] Sebelumnya, orang Mawali kedudukannya sebagai orang kelas dua di bawah orang Arab.
Sebelum Umar memimpin, jizyah dan kharaj dipungut dari mawali. Ia membebaskan pajak itu dengan alasan bahwa Nabi diutus bukan untuk memungut pajak dan mencari kekayaan, melainkan mensidlamkannya. Ekspansi yang sedang berjalan sebelumnya, dihentikan dan berbagai pungutan liar dan tidak manusiawi diberhentikan.
Umar ibn Abd al-Aziz telah banyak melakukan perbaikan dan hakikat maslahat semua ini lebih banyak bagi Islam daripada bagi maslahat bait al-mal. Ia telah membebaskan keharusan membayar upeti dari ahlu dzimmah yang masuk Islam. Ia juga meringankan beban pajak atas kaum Muslimin, terutama dari kalangan Persia. Langkah kebijaksanaan politik ini dengan segera tersebar luas dan berdampak bertambahnya orang-orang non-Muslim menerima dan tertarik masuk Islam.[15]
Khalifah Umar adalah seorang yang sangat tekun beribadah, sangat cinta damai, dan sangat baik budi pekertinya. Kediamannya penuh ditempati oleh ahli takwa dan zuhud. Ia hanya mempekerjakan orang yang dianggap mampu dan layak, sehingga mereka dapat mengikuti langkah yang ditempuhnya.[16]
Umar ibn Abd al-Aziz juga menghapus kutukan kepada Ali ibn Abu Talib di atas mimbar-mimbar, sedangkan orang-orang Umayyah mencacinya. Ketika dia menjadi khalifah, maka cacian ditinggalkan dan pada bagian yang biasa digunakan untuk mencaci tersebut ditukar dengan fiman Allah Ta`ala, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berbuat adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pelajaran kepada kalian agar kalian selalu ingat” (Q.S 16: 90)
Umar sudah memikirkan penggantinya yang lain dari pada yang diwasiatkan Abd al-Malik yakni Yazid ibn Abd al-Malik. Ia sadar, Yazid tidak layak untuk memangku jabatan itu. Tetapi, sebelum ia melakukan apa yang sebaiknya dilakukan dalam hal in, maut telah menyambutnya pada 9 Februari 720M.[17]






BAB IV
Kesimpulan

Umar ibn Abd al-Aziz dianggap sebagai seorang khalifah dari para khalifah Bani Umayyah yang paling baik sejarah kehidupannya, paling bersih kepribadiannya, paling terjaga lidahnya, paling giat menyebarkan dan menegakkan agama. Kaum Muslimin menyamakan kepemimpinannya dengan kepemimpinan kakeknya, Umar ibn Khattab, baik dalam keadilan maupun dalam kezuhudannya.
















Daftar Pustaka

Abdurrahman,Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Hasan,Hasan Ibrahim. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Karim, M.Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009.
Nasution,Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: UI-Press, 1985.
Yatim,Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.


[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1985), hlm. 93.
[2] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam( Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 77.
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau….hlm.103-104.
[4] Ibid., hlm. 105.
[5] Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 30.
[6] Ibid., hlm. 23.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam(Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 91.
[8] Ibid., hlm. 92.
[9] Ibid., hlm. 93.
[10] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan …… hlm. 122.
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan……hlm. 94.
[12] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan …… hlm. 123.
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 47.
[14] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan …… hlm. 125.
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan……hlm. 96.

[16] Ibid., hlm. 99.
[17] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan …… hlm. 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar